MESKIPUN Pemilihan Presiden (Pilres) 2024 masih jauh digelar, namun aromanya sudah mulai membuat publik malu. Mirip dengan suara mainan lato-lato yang bikin pusing kepala spaneng, lalu manuver-manuver politik partai-partai semakin sulit untuk “menenangkan” para elite politik yang seolah-olah haus akan kekuasaan lebih dalam masyarakat.
Tidak ada yang mau mengalah, semua merasa pantas menjadi presiden atau wakil presiden. Saling menyapa di media sosial berpura-pura menjadi pemimpin negara. Mungkin meniru ilmu kecap, bumbu penyedap makanan yang hitam pekat. Semua orang mengklaim bahwa mereka pantas menjadi nomor 1 bahkan tanpa menyadari bahwa mereka bahkan tidak pantas menjadi nomor 73.
Mahasiswa di kelas perkuliahan yang saya ajar, sering bertanya hak istimewa diterima oleh putra-putri para pemimpin negara sekaligus”pemilik“partai politik yang begitu istimewa di kancah politik nasional. Jadi “lahir” segera menjadi calon pemimpin negara karena posisi khusus mereka di partai politik yang “maju dan maju”.
Baca juga: Nasdem Akui Tak Mundur Menjajaki Koalisi untuk Perubahan Meski Bertemu dengan Gerindra-PKB
Sang ayah atau ibu menjadi ketua umum partai politik sehingga kelak putra-putrinya akan mewarisi “darah biru” untuk menjadi pengurus partai. Tidak perlu meniti karir politik dari tingkat cabang paling bawah, tapi bisa dilakukan secara langsung”sembur ibu“menjadi caleg Senayan dengan nomor urut”kecil” dan mendapat dukungan suara dari kandidat lain di tingkat yang lebih rendah.
Lain halnya jika putra-putri “pemilik” partai memiliki jejak-jejak perjuangan yang merambat dari bawah dan akhirnya bercokol di jajaran inti partai. Ada yang “berdarah biru” dan ada yang “berdarah”.
Semuanya tergantung pada didikan orang tuanya dan sikap juang serta etos putra putri pemilik hak istimewa. Ingin memperlakukan anaknya seperti kaca kristal yang diperlakukan dengan keistimewaan atau seperti mineral yang harus ditempa.
Mencermati arah awal koalisi yang terjadi saat ini, kita seolah-olah menyaksikan sinetron “Ikatan Cinta” yang tokoh utamanya memilih hengkang. Meski diidolakan dan kangen penampilannya, Amanda Manopo, pemeran utama “Ikatan Cinta” memilih hengkang. Penonton kecewa dan berpikir mereka harus berhenti menonton sinetron dengan ratusan episode.
Langkah Nasdem mencoba mencari terobosan “keluar” dan menjajaki kerja sama politik dengan Gerindra dan PKB tidak terlepas dari suasana di Koalisi untuk Perubahan yang “tidak berjalan dengan baik”. Publik, apalagi pengamat yang mencermati langkah Nasdem, memprediksi koalisi yang digagas Nasdem tak lepas dari kerasnya posisi cawapres yang akan disandingkan dengan Anies Baswedan.
Surya Paloh dan Nasdem tentunya banyak belajar dari “karakter” politik Demokrat yang sulit “diatur” dan ingin “menang sendiri”. Nasdem harus menyeimbangkan pendulum politiknya di tengah, antara PKS dan Demokrat. Demokrat juga melakukan upaya politik maksimal, yakni menawarkan ketua umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk posisi “pengantin” Anies.
Daya tawar politik Demokrat “turun” setelah sebelumnya memasang tag AHY untuk posisi capres.
PKS yang juga unjuk kekuatan akhirnya mencalonkan nama mantan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan atau Aher untuk jabatan wakil presiden setelah mencoret sejumlah nama dari elite PKS. Dalam perjalanannya, PKS akhirnya menyerah jika AHY yang akhirnya melamar Anies dan Nasdem sebagai cawapres.
Baca juga: Demokrat Tak Khawatir Pertemuan Surya Paloh-Jokowi Gagalkan Koalisi Perubahan
Apa imbalan yang diminta PKS dengan sikap “legowo” dan tak kenal lelahnya? Pasti ada penawaran politik internal Koalisi untuk Perubahan.
Perjuangan Nasdem untuk mencalonkan Anies Baswedan bukanlah perkara mudah. Demokrat tidak bisa memahami kondisi ini.
Dengan mencalonkan Anies, ada risiko besar yang harus dihadapi Nasdem. Nasdem berulang kali mendapat serangan politik, yaitu permintaan untuk segera keluar dari kabinet dengan menarik tiga menterinya (Pertanian, Komunikasi & Informasi dan Lingkungan Hidup).
Pertama, Nasdem mengundang “musuh besar” politik, terutama dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan partai-partai pendukungnya di koalisi pemerintahan Jokowi – Ma’ruf Amin yang selama ini “berlawanan” dengan Anies Baswedan. PDI-P dan PSI begitu “kesal” dengan langkah Nasdem yang mencalonkan Anies.
Risiko politik besar yang diambil Nasdem dan Surya Paloh sebenarnya tidak sebanding dengan kerja sama politik yang mereka jalin dengan Demokrat dan PKS. Nasdem masih bisa mengusung Anies tapi mengalihkan kerjasamanya dengan partai lain, selain PKS dan Demokrat.
Terbukanya pintu Gerindra dan PKB dengan persahabatan politik Nasdem, tidak menutup kemungkinan bagi Nasdem untuk “mengetuk” pintu lain seperti Koalisi Indonesia Bersatu yang berintikan Golkar, PAN dan PPP. Jika ingin “berkunjung” ke PDI-P atau PSI, Nasdem tampaknya harus merevisi pencalonan Anies sebagai calon presiden.
Hanya saja, dalam politik tidak ada yang tidak mungkin. Kerja sama politik masih dimungkinkan mengingat politik adalah seni yang harus dirangkul dan disingkirkan. Tidak ada lawan yang abadi tapi yang abadi hanyalah kepentingan apalagi kekuasaan.
Ketua DPP Partai Nasdem Sugeng Suparwoto (tengah) bersama perwakilan tim kecil Koalisi Perubahan yang diisi PKS, Demokrat, dan Anies Baswedan di Anies Hall, Lebak Bulus, Jakarta, Jumat (27/1/2023).

Skenario Penyelamatan atau Pemusnahan Anies?
Keberanian Nasdem mencari koalisi alternatif di luar Koalisi Perubahan dengan Demokrat dan PKS semakin menunjukkan “keseriusan” Nasdem memperjuangkan Anies sebagai calon presiden. Nasdem tidak ingin terbelenggu oleh rongrongan politik dari mitra koalisinya dan ingin menegaskan kemandirian sikap politiknya.
Anies seperti “merchandise politik” yang berpotensi laris manis di pasar politik sehingga Nasdem leluasa menjajakannya ke sana-sini. Dalam berbagai survei yang dilakukan sejumlah lembaga survei, Anies kerap masuk tiga besar pikiran atas responden sebagai calon presiden terpilih selain paling populer.
Bahkan, Anies kerap menduduki puncak klasemen capres pilihan responden terbanyak, diikuti Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.
Jika Nasdem akhirnya berkoalisi dengan Gerindra dan PKB namun mengikuti skenario Prabowo dan Cak Imin dengan “meninggalkan” Anies, maka kemungkinan Nasdem memang menjebak Anies untuk tidak bisa bersaing di Pilpres 2024.
Andai saja ada gejolak politik, Anies tetap menjadi calon presiden di koalisi lain selain Koalisi untuk Perubahan, maka Nasdem dengan tulus bertekad mencalonkan diri untuk Anies secara maksimal. Tepatnya dengan Manuver Nasdem yang “mengetuk” pintu lain untuk membuka koalisi alternatif, seharusnya membuat Demokrat dan PKS sadar diri.
Peluang Demokrat dan PKS akan semakin tipis untuk berkoalisi dengan partai lain mengingat setiap koalisi sudah memiliki pasangan capres dan cawapres idaman masing-masing. Demokrat, apalagi PKS sudah menerapkan logonya, harus mengedepankan formula kemenangan dalam koalisi.
Biarkan Anies dan Nasdem mencari sosok lain yang bisa memperbesar peluang menang. Ada sosok mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Andika Perkasa yang ampuh menjawab keraguan pemilih terhadap stigma Anies sebagai anti-bhineka dan politik identitas.
Baca juga: Nasdem Dekati Koalisi Gerindra-PKB, Nasib Capres Anies Kini Terancam
Selain Andika, Anies juga bisa disandingkan dengan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa yang berpotensi menarik pemilih Muslim dan keterwakilan pemilih perempuan. Pengalaman Khofifah di birokrasi memang tidak “cerdik”, mulai dari Kepala BKKBN, Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Sosial hingga para gubernur di provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di tanah air.
Menghadapi Ganjar – Erick Thohir jika akhirnya diusung oleh PDI Perjuangan, melawan Prabowo – Cak Imin dari Koalisi Gerindra – PKB dan Airlangga dengan Ridwan Kamil jika dicalonkan oleh Golkar, PAN dan PPP kemudian Nasdem, Demokrat dan PKS Koalisi harus memiliki pasangan yang “sama”.
Harus terus disimulasikan secara obyektif untuk mencari varian pendamping Anies di Pilpres 2024. Apakah itu Anies – Andika; Anies – Khofifah; Anies – AHY; atau Anies – Aher? Penjelajahan, saling sapa, saling tawar-menawar, dan saling membagikan tampaknya akan terus menjadi “pandangan” dari manuver partai.
Partai akan terus membentuk kelompok, pengelompokan ulang hingga stabil menjadi koalisi permanen selama semua kepentingannya diakomodasi oleh mitranya. Agenda koalisi tentunya harus diletakkan pada bagaimana arah pemerintahan selanjutnya yang lebih manusiawi bagi penduduk. Lebih menekankan pada pemerataan pembangunan untuk Indonesia Timur dan Indonesia Tengah dan tidak mengabaikan pembangunan di Indonesia Barat.
Kesejahteraan harus terus diupayakan dengan tidak melupakan keadilan yang selama ini absen di berbagai bidang kehidupan. Melihat partai-partai yang terlihat “seolah-olah” membela kepentingan rakyat yang berkoalisi, jangan ditanggapi dengan “baper” yang berlebihan. Anggap saja elit partai sibuk mencari lowongan untuk “kekuasaan” seperti wajah-wajah lulusan baru universitas yang berjuang mengisi lowongan kerja.
Elit partai lama-lama juga akan sedih jika tidak mendapat lowongan kekuasaan. Gagal menjadi presiden, gagal menjadi wakil presiden dan kehabisan kekayaan yang melimpah. Yang tersisa adalah ambisi tanpa akhir.
Kamu sudah tua, bagaimana kabarmu
Katanya sembuh, katanya sakit
Jantung, ginjal dan asam urat sedikit sarap
Berhati-hatilah, Pak Tua, istirahatlah
Di luar berangin
Kamu adalah senyum murahan yang menahan perutmu
Tubuhmu semakin gemuk menatap langit
Sehari menjelang matahari terbenam, Pak Tua mengantuk
Istri manis menunggu istirahat
Di luar berangin, pak tua
Kamu sudah terlihat lelah oh ya Pak Tua sudahlah
Kami bisa bekerja oh ya pak tua oh oh
(Lirik lagu “Pak Tua” – Elpamas).
Dapatkan pembaruan berita terpilih dan berita terkini setiap hari dari Kompas.com. Yuk gabung di grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link nya https://t.me/kompascomupdate, lalu bergabung. Anda harus menginstal aplikasi Telegram terlebih dahulu di ponsel Anda.